Maaf, Aku Hanya Bisa Mendengar

Aku bertemu pertama kali dengannya sewaktu kami mengumpulkan berkas-berkas syarat untuk mahasiswa baru. Pengumpulan berkas waktu itu diadakan di dalam gedung dan dibagi per jurusan sehingga antrian tidak panjang, mungkin juga karena mahasiswa yang diterima dijurusan yang aku pilih tidak banyak, bahkan kami antrinya pun tidak sambil berdiri, tetapi sudah disediakan kursi untuk para mahasiswa baru, ditambah ruangannya pun ber AC sehingga kami tidak kepanasan.

Dia duduk didepanku, dan aku duduk dibelakangnya. Aku mengecek seluruh formulir yang ada, dan aku temukan bahwa satu formulir belum aku isi. Langsung saja aku mencari dalam tasku, sebuah pencil 2B, tetapi setelah mengobrak-abrik tasku sehingga semua isi tasku berantakan pun tetap tidak bisa aku dapatkan benda itu. Dengan sangat terpaksa dan sambil menebalkan muka aku menyapa dia dan mengutarakan niatku untuk meminjam pencil 2B padanya.

”Mbak maaf, bisa pinjem pencil 2B gak? Punyaku ketinggalan di rumah, dan ini ada satu formulir yang belum aku isi.” Si embaknya menjawab dengan ramah dan dengan sigap mengeluarkan pencil 2Bnya dari pencil case.

Selesai sudah aku isi formulir itu, tepat sebelum namaku dipanggil untuk mengumpulkan berkas-berkas. So, aku belum sempat mengembalikan pencil yang aku pinjem dari gadis itu. Setelah menyerahkan berkas-berkas itu aku bergegas keluar, dan ternyata gadis itu masih diluar, aku ga berharap dia masih di sana lantaran aku belum mengembalikan pencilnya.” Hi, kamu masih disini. Kamu menunggu aku karena aku belum mengembalikan pencilmu ya.” aku menghampiri dia seraya bertanya dengan nada yang akrab. Dianya menoleh dan tersenyum, ”Oh enggak kok, kalem aja, aku masih banyak pensil kok.

Aku Cuma duduk-duduk aja, langsung pulang juga ga tahu apa yang harus aku lakukan, ga ada kerjaan, mending duduk-duduk disini siapa tahu dapet kenalan. Dan ternyata bener, aku dapat kenalan baru, eh btw siapa namamu? Aku Bintang.” tanya dia sambil menjulurkan tangannya. Sempet ragu sih, aku selama ini ga pernah bersalaman dengan perempuan, agak aneh saja bagiku, dengan sesama laki-laki pun aku jarang banget salaman, karena itu bukan budaya yang aku jadikan kebiasaan dalam hidupku. Tapi gak apalah, kelupakan apa yang dari hari ke hari telah aku lakukan, aku menjulurkan tangan menerima tangannya, ”Aku Dewa.”

Dia sangat ramah dan ceria, dan dengan cepat kami menjadi sahabat dekat. Dari hari kehari pun aku semakin mengenal dia, segala apa yang dia impikan, segala yang dia suka dan tidak suka. Terlebih aku segera mengetahui kepribadiannya. Padaku dia selalu mengatakan perjalanan hidup yang telah dilintasinya.-

Orang tidak akan pernah menyangka bahwa dari balik keramahannya tersimpan sesuatu yang mengagetkan. Aku tidak pernah menduga dan mengira bahwa dia menanggung beban psikologis yang berat, bahkan beban itu telah mengubah dia tentang pandangannya terhadap dunia ini.

Mungkin semua itu diakibatkan masalah keluarga yang merenggut cerita indah di masa kecilnya. Ayahnya meninggalkan dia dan adik-adiknya sejak mereka masih kecil Masalah itu begitu hebat dan mengguncang kehidupanya. Sejak saat itu dia tumbuh berbeda dari anak-anak sebayanya, terang dia kepadaku. Dia sangat marah dan kecewa pada bapaknya, bahkan pada suatu hari saat bapaknya menjenguk dia, dia menjadi sangat marah, saking marahnya dia menghadang ayahnya dengan pisau, tak membiarkan bapaknya untuk masuk ke rumah. Sejak saat itu bapaknya tidak pernah lagi menjenguk dia. Dia tidak tahu apa yang dirasakannya, apakah benci atau cinta. Dan perasaan itu telah mengubah segalanya, kehidupannya dan jiwanya.

Sejak saat itu, karena sifatnya berubah dari orang anak yang ceria menjadi pemurung dan tidak peduli pada lingkungan sekitar bahkan teman-teman akrabnya, dia pun tidak punya teman. Melihat keadaannya yang tidak berteman, ibunya pun berusaha untuk membujuknya mencari teman dan bergaul seperti dulu, tetapi dia tetap tak bergeming pada kesendiriannya. Lalu, kisah dia bahwa ibunya pernah membayar seorang anak untuk menjadi temannya. Tapi itu tidak bisa bertahan lama. Masa kecilnya sungguh kelabu, masa kecil yang terenggut, yang seharusnya menjadi bagian masa kecil yang ceria. Tetapi hidup memang tidak bisa diramalkan, terkadang masa-masa kecil suram itu hinggap dalam anak-anak yang tidak seberuntung kita.

Masa remajanya tidak lebih mudah untuk dilewati daripada masa kecilnya. Masa remajanya menjelma menjadi masa yang paling terjal untuk dilewatinya. Seperti kebanyakan remaja lain, emosinya mengalami kejolak. Tetapi emosinya menjadi begitu pasang surut, menjadi masa penuh badai dan petir serta topan. Masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa yang menuntut kemandirian dan kematangan berpikir itu dilaluinya dengan tertatih-tatih. Perkembangan emosinya masih selalu terbayang-bayang oleh masa kecilnya yang menghantui.

Masa lalunya telah menempanya menjadi gadis perasa. Perasaannya menjadi begitu peka. Terkadang kepekaan itu menjadi gift bagi kita. Tetapi bagi dia, kepekaan cenderung menjadi curse. Kepekaan hatinya telah menjauhkan anak-anak untuk mendekat. Hanya segelintir teman yang bisa menjadi temannya, karena mereka bisa sabar mendengarkan segala keluh kesahnya yang terkadang sungguh menyusahkan dan membakar mulut kita untuk berkomentar bahwa di luar sana banyak anak yang tidak lebih seberuntung dari dia, tapi mereka kuat dan tidak mengeluh, tetap ceria, tetap kuat dan tidak cengeng.

Dimasa kuliah, sejak awal dia telah menjadi teman bagi ku. Mungkin kami bisa dekat karena kepribadianku yang melankolis. Aku senang bisa mendengar kisah-kisah sedih yang akan membuatku menitikkan air mata. Selain itu, mendengar bukan beban bagiku karena aku hanya cukup diam mendengar. Aku pernah membaca buku psikologis bahwa wanita butuh seseorang untuk berbagi perasaan dan mendengarkannya. Mereka tidak mencari solusi ataupun nasihat. Dengan berbagi cerita dia telah menemukan jalan yang harus diambilnya. Mungkin itu benar.

Bintang, aku hanya bisa mendengarkanmu. Aku tidak bisa banyak membantu. Aku takut nasihat-nasihatku hanyalah nilai-nilai ideal yang terlalu di awang-awang. Solusi-solusi imajiner yang tidak akan pernah menyentuh masalah, yang tidak akan bisa menyelesaikan masalah-masalahmu. Ku hanya berharap dengarku telah membantumu, setidaknya telah meringankan beban hati yang kau tanggung. Maaf aku tidak bisa ikut menanggungnya.

Setelah lulus aku jarang bertemu dengan dirinya. Hanya sms dan telefon yang masih menghubungkan kami. Tapi hanya satu yang aku sesalkan dan sayangkan, aku seharusnya tidak hanya mendengarkannya, sebagai sahabatnya, aku juga harus mengingatkannya bahwa beberapa perilakunya tidak sesuai dan cenderung menghancurkan kehidupan pertemanan dan sosialnya, menolongnya keluar dari sifat-siafnya yang tidak bisa diterima oleh lingkungan sosialnya, sifatnya yang sering melebih-lebihkan sesuatu dan sifatnya yang cenderung memicu permusuhan karena kecemburuan saja, sifat yang terlalu banyak prasangka. Aku memang bukan sahabat yang baik, tapi sudah berusaha memahaminya. Sahabatku, ubahlah perilaku baikmu, karena kamu sesungguhnya orang yang baik, hanya keadaan telah membentukmu seperti itu.

(Contoh Cerita Mini indosiar.com)

0 komentar:

Posting Komentar